Jumat, 17 Maret 2017

Konsep Kafir dalam Deradikalisasi

Konsep Kafir dalam Deradikalisasi
Ali Maschan Moesa  ;   Wakil Rais Syuriah PW NU Jatim;
Guru Besar Sosiologi Bahasa UIN Sunan Ampel Surabaya
                                                      JAWA POS, 16 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bom bunuh diri adalah metode operasi teror dengan penyerangan yang berfokus pada kematian si pelaku. Pelaku menyadari, jika tidak mati, berarti dirinya gagal beraksi. Mengamini pernyataan Robert A. Pape dalam ”Dying to Win, The Strategic Logic of Suicide Terrorism”, terorisme bunuh diri adalah bentuk terorisme yang sangat agresif.

Dalam kurun waktu 1999–2016, tercatat 69 kali aksi teroris telah terjadi di Indonesia. Berdasar data mutakhir, saat ini jumlah narapidana (napi) teroris mencapai 222 orang yang tersebar di 63 lapas dan dua rutan.

Secara teori terdapat tiga alasan yang menjadi pendorong pelaku terorisme, yaitu alasan agama, psikologis, dan sosiologis. Ted Robert Gurr, penulis Why Men Rebel, menyatakan bahwa radikalisme muncul karena terdapat perasaan terkalahkan (sense of deprivation).

Dalam perspektif agama, umat Islam memang memiliki ”nasab” kekerasan dalam sejarahnya. Hal itu bisa ditelusuri sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang ”dianggap” sudah meninggalkan prinsip keadilan (al-’adalah) dan para sahabat pun sudah menyampaikan kritik sosialnya dengan berbagai cara. Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash, sahabat yang termasuk generasi pertama yang menerima Islam (al-sabiqun al-awwalun), dilengserkan dari jabatannya sebagai gubernur dan penggantinya ternyata Walid bin Uqbah yang masih kerabat khalifah, kebijakan itu menimbulkan pro dan kontra karena berbau nepotisme.

Abdullah bin Mas’ud selaku menteri ekonomi menyampaikan keberatan atas mutasi tersebut kepada khalifah, tapi usulnya ditolak. Kemudian Ibnu Mas’ud secara legawa mengundurkan diri, baik dari jabatan sebagai menteri maupun bendahara negara.

Sementara itu, Abu Dzar mengartikulasikan keberatannya dengan membentuk opini publik secara gencar di pasar, di jalan, dan di berbagai tempat. Tujuannya, menjelaskan kepada umat bahwa keputusan khalifah bertentangan dengan keadilan. Sebab, Walid bin Uqbah belum memenuhi syarat sebagai seorang pejabat negara.

Setelah Marwan bin Hakam –yang masih keluarga khalifah– melaporkannya kepada khalifah, Abu Dzar dipanggil dan diperintah untuk menghentikan tindakannya. Abu Dzar menolak perintahnya sehingga diasingkan ke Syam (Syria).

Sahabat Ammar bin Yasir melakukan protes lewat petisi. Yaitu, para sahabat yang tidak setuju dengan kebijakan khalifah menandatangani petisi dan Ammar yang dipercaya menyampaikannya kepada khalifah. Ternyata khalifah juga menolak petisi tersebut. Adapun sikap sahabat Ali bin Abi Thalib adalah ”no comment” ketika banyak orang minta fatwanya tentang kebijakan khalifah.

Lebih lanjut, yang terjadi adalah sekitar 2.000 orang yang berasal dari Kufah, Basrah, dan Mesir dengan ”kekerasan” meminta khalifah membatalkan mutasi dan mengembalikan jabatan gubernur kepada Sa’ad bin Abi Waqqash. Mereka juga menghukumi ”kafir” kepada khalifah jika menolak tuntutan mereka. Karena khalifah tidak memenuhinya, mereka lalu mengepung kediaman khalifah selama dua minggu dan akhirnya Utsman terbunuh dalam keadaan sedang membaca Alquran.

Pertanyaannya, mengapa empat sahabat utama (Ali, Abu Dzar, Ibnu Mas’ud, dan Ammar) tidak berani menghukumi ”kafir” khalifah, sedangkan yang 2.000 orang secara ”radikal” berani mengafirkan Utsman? Ibnu Khaldun (bapak ilmu sosiologi) menyampaikan dua analisis menarik. Pertama, faktor politik, yaitu 2.000 orang tersebut sejak awal tidak memilih Utsman sebagai khalifah, tetapi mereka adalah pemilih setia Ali.

Kedua, faktor pemahaman agama. Dua ribu orang tersebut memiliki pemahaman agama yang sangat dangkal dan belum komprehensif. Sedangkan empat sahabat utama lainnya adalah mereka yang pemahaman agamanya lebih kafah dan selalu mengembalikan semua ajaran Islam pada esensi maknanya, yaitu menyelamatkan atau merahmati lil ’alamin.

Walhasil, sikap dan tindakan radikal bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul (process of being). Namun diawali alam pikiran keras, latar belakang pendidikan, pergaulan, dan pengalaman hidup yang secara sosiologis disebut process of becoming.

Kekerasan atau menurut PBB adalah preventing violent extremism (PVE) dan radikalisme adalah suatu sifat atau keadaan yang mengandung tekanan keras dan paksaan. Dimensi kekerasan bukan hanya fisik, tapi juga psikologis. Paksaan tidak sekadar memiliki sasaran individu, tetapi juga kepada kelompok yang sering disebut kekerasan struktural.

Dalam perspektif ini, Alquran menjelaskan bahwa nonmuslim itu terbagi menjadi beberapa jenis. (1) Yahudi dan Nasrani (ahli kitab), termasuk di dalamnya kaum Majusi. (2) Munafiqin. (3) Musyrikin ”penyembah berhala”. (4) Kafirin, yaitu mereka yang mengingkari adanya Tuhan.

Semua golongan di atas akan berubah ”identitasnya” menjadi golongan yang boleh dimusuhi yang disebut ”harbiy” atau secara umum disebut ”kafir harbiy”, tapi harus terdapat dua syarat pokok pada diri mereka (QS Al Mumtahanah 16–17). Dua syarat pokok tersebut adalah nonmuslim yang memusuhi kaum muslimin (yuqotilunakum) dan syarat kedua adalah telah mengusir kaum muslimin dari kampungnya (yukhrijunakum min diyarikum).

Dalam perspektif ini, identitas ”kafir harbiy” tersebut otomatis ”lepas” jika mereka meminta perlindungan dan keamanan kepada kaum muslimin (ahlu al-dzimmah - musta’manin). Selain itu, nonmuslim yang tidak boleh dimusuhi adalah mereka yang secara sukarela menyepakati perjanjian untuk hidup damai bersama kaum muslimin yang disebut mu’ahadin.

Akhirnya, ada beberapa masukan kepada pemerintah. Pertama, sudah saatnya BNPT lebih memfokuskan pola soft power, yaitu pembinaan dan berdialog dengan mereka tentang pemahaman agama yang benar dan sekaligus memperkuat rasa kebangsaan. Kedua, sudah saatnya kurikulum pendidikan agama (Islam) di level perguruan tinggi didesain sedemikian rupa dan dimasukkan di dalamnya uraian tentang hakikat agama, hubungan agama dan negara, serta hubungan antar-pemeluk agama.

Wallahu a’lam bis-sawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar