Kamis, 13 April 2017

Ketoprak Ketatanegaraan

Ketoprak Ketatanegaraan
Abdul Wahid  ;   Wakil Direktur I Bidang Akademik Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan Pengurus AP-HTN/HAN
                                                        KOMPAS, 12 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menyikapi gonjang-ganjing para elitis yang membuat konstruksi ketatanegaraan tampak ringkih—meminjam istilah Himawan, Sekjen Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara, layaknya organisasi ”ketoprak”—sejatinya tak lepas dari sikap mental yang sering kali membenarkan cara-cara demagogisme.

Demagogisme para elitis itu terbaca dalam kasus pelantikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) oleh Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Mahkamah Agung (MA). Antara DPD dan MA ini dipraduga oleh publik sedang menyimpan ”misteri” kepentingan. Jika tidak karena kepentingan yang sangat strategis, tak mungkin sampai noma-norma yuridis dijadikan obyek permainan.

Demagogisme merupakan deskripsi pendustaaan atau kebohongan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang terlibat dalam praktik-praktik tidak terpuji, melanggar kode etik jabatan atau ”menyelingkuhi” norma yuridis. Mereka nekat melakukan ini karena ada kepentingan besar yang diincar atau dikalkulasi menguntungkannya.

Seseorang atau sejumlah orang itu mendustai kebenaran dan kejujuran. Norma yuridis yang seharusnya memerintahkan untuk menjaga martabat institusi, khususnya institusi negara,tidak dilaksanakannya dengan benar, konsisten, egalitarian, dan berkeadilan.

Norma yuridis justru dijadikan sebagai instrumen melindungi praktik kotor atau dustanya. Norma yuridis dipermainkan sehingga tampak tidak menarik dan kian kehilangan kredibilitasnya.

Secara yuridis melantik pejabat sekelas ketua DPD hanya boleh dilakukan ketua MA, bukan oleh Plt, atau dalam norma yuridis tidak ada ”ruang” pendelegasian. Namun, ternyata perintah norma ini tidak diindahkan sehingga yang terbaca adalah gugusan para bintang yang menjatuhkan opsi jadi demagogisme.

Mereka yang menjadi komunitas demagogis itu merupakan kumpulan orang pintar atau berpengetahuan hukum. Mereka ini pintar berdalil dan berlogika, tetapi gagal menjaga amanat yang dipercayakan kepadanya. Mereka bukan hanya mendustai rakyat, melainkan juga membodohi dirinya sendiri.

Bukan hanya elitis DPD dan ”oknum” di MA yang terbaca jadi demagogis. Karena, faktanya, para demagog memang masih mencengkeram kuat negeri ini. Mereka menancapkan kuku-kukunya dalam lingkaran kekuasaan atau jabatan yang dipercayakan kepadanya. Mereka jadikan kekuasaan untuk membuka jalur pungli dan memperluasnya.

”Kita telah melafalkan hukum utama. Mari kita sekarang menerapkannya dalam hidup ini,” demikian ajakan pakar hukum Edwin Markham yang ditujukan kepada setiap pengemban amanat negara untuk mewujudkan sikap dan perilaku yang tidak mendustai kebenaran.

Pengemban amanat negara adalah sosok manusia yang sudah pintar melafazkan hukum. Namun, fakta yang terbaca: mereka belum tentu militan dalam mengimplementasikannya. Mereka itu bisa paham dan hafal regulasi birokrasi di luar kepalanya, tetapi faktanya mereka tidak bermental konsisten dan militansi dalam penerapannya. Penegakan norma dapat terukur melalui regulasi yang terimplementasi secara jujur, obyektif, dan berkeadilan.

Tak boleh didiamkan

Demagogisme itu merupakan jenis model berpolitik yang pelakunya tergolong serius dalam mempermainkan hukum. Di tangannya, hukum digunakan sebagai instrumen untuk menciptakan kebingungan di tengah masyarakat. Mereka jadikan kekuasaan sebagai instrumen menghancurkandan melumpuhkan bekerjanya sistem hukum.

Ketika di mana-mana gampang ditemukan praktik demagogis itu, maka ini mengindikasikan kegagalan mewujudkan negara berbasis regulasi. Para oknum aparat penegak hukum dan birokrasi sejatinya adalah pelaksana utama gerakan pembumian norma yuridis. Namun, ketika dalam realitasnya rakyat (publik) masih ”terjajah” oleh berbagai model pembangkangan hukum, berarti gerakan itu bisa terbilang gagal.

Segala bentuk politik pembaruan hukum nasional yang menghabiskan dana besar tidak akan ada artinya jika setiap produk legislasinya tidak bermarwah akibat disimpangi oleh para elite yang seharusnya menjadi sumber keteladanan hukum.

State without law adalah kata yang digunakan oleh Shubhan al-Khafaidz (2007) untuk menjawab risiko kehancuran negara akibat berlaku absolutnya egoisme dan sikap ambisius pemegang kekuasaan yang suka mengembangkan berbagai model pembangkangan hukum atau penyalahgunaan etik kekuasaan. Stigma itu tidak salah.

Hukum kausalitas terjadi di negeri ini. Rentannya konstruksi negara atau tercerabutnya marwah negara hukum adalah akibat sepak terjang aparatnya yang lebih menyukai mempermainkan (memandulkan) norma-norma yuridis dan sibuk menahbiskan demagogisasi yang menguntungkan secara ekonomi dan politik.

”Memanfaatkan” (mendemagogisasi) kekuasaan merupakan salah satu jenis ”kejahatan” yang dijadikan opsi, bahkan ditahbiskan oleh oknum aparat negara, pasalnya opsi ini menjadi sumber strategis memenuhi ambisi ekonomi dan politik. Jika ambisi itu yang terus dimenangkan, sulit rasanya mengeliminasi stigma ”ketoprak ketatanegaraan”.Mereka yang berambisi ini diniscayakan akan terus melanjutkan mental oportunisnya untuk mendapat yang lebih istimewa dan menguntungkannya.

Di mata demagogis itu, konstruksi negara—mau lembek atau kuat—tak jadi pertimbangannya. Yang selalu dipertimbangkan adalah bagaimana ”sekoci-sekoci” hajat eksklusif dan instannya bisa terpenuhi. Penyakit yang dipertahankan dan diabsolutkan oleh para oportunis itu tidak boleh didiamkan oleh rakyat. Rakyat lewat berbagai organisasi harus ”mengeraskan” suaranya untuk mengingatkannya.

Rakyat tidak boleh membiarkan, apalagimengamini, mereka makin membentuk sepak terjangnya jadi oportunis. Mereka harus ”dijewer” supaya negara ini tidak dijadikan objek ”ketoprakan”. Mereka harus ”ditobatkan” agar paham dan sadar makna khitah etik dan yuridisnya sebagai pejabat negara dan bukan sebagaielemen yang memolitisasi jabatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar