Kamis, 13 April 2017

Menumbuhkan Literasi Agama

Menumbuhkan Literasi Agama
Fathorrahman Ghufron  ;   Wakil Katib Syuriah PWNU dan
Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta;
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
                                                        KOMPAS, 12 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam sebuah pertemuan terbatas dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara (5/4/2017), Prof Nasaruddin Umar—Imam Besar Masjid Istiqlal—menyampaikan salah satu faktor utama maraknya perilaku intoleransi dalam kehidupan masyarakat disebabkan dangkalnya pemahaman keagamaan.

Sikap intoleransi yang mewujud dalam berbagai bentuk, seperti menyesatkan, mengafirkan, membenarkan ajarannya sendiri, dan disertai menyalahkan ajaran pihak lain beririsan kuat dengan rendahnya pemahaman keagamaan. Pemahaman keagamaan menjadi kunci utama yang perlu dibenahi agar bisa memunculkan sikap moderat, toleran, dan progresif. Pertanyaannya, bagaimana merajut sebuah pemahaman keagamaan yang dalam agar dapat menjadi pandu keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat Indonesia?

Merujuk pemikiran KH Mustofa Bisri dalam buku Saleh ritual dan Saleh Sosial: Kualitas Iman, Kualitas Ibadah, dan Kualitas Akhlak Sosial, pemahaman keagamaan tak sekadar mengaitkan ketundukan terhadap Tuhan yang diyakini lalu dimanifestasikan dalam bentuk kesalehan ritual. Secara antromorfik pemahaman keagamaan bisa terejawantah pula ke dalam kesalehan sosial yang dilandasi komitmen saling mengasihi sesama dan menghargai aneka perbedaan.
Dengan demikian, untuk membenahi pemahaman keagamaan yang bervisi antromorfis diperlukan melek agama (religious literacy) yang bisa membingkai berbagai perilaku dan pengetahuan tentang agama secara konstruktif, dinamis, humanis, komprehensif.

Literasi agama

Merujuk pemikiran Dr Abdul Ghaffar Karim—dosen politik dan agama FISIP UGM—bahwa dalam literasi agama yang diperlukan adalah tiga aspek. Pertama, memiliki pemahaman terhadap agama yang dipeluk. Kedua, memiliki pemahaman konteks relasional antara satu agama yang dipeluk dan agama-agama yang lain. Ketiga, memiliki pengetahuan tentang konteks evolusi setiap agama.

Ketiga aspek ini menjadi semacam modalitas sosial untuk menempatkan agama kita di tengah banyaknya agama lain. Baik agama semit yang turun dari langit maupun agama bumi yang dihasilkan dari proses interelasi budaya kehidupan masyarakat.

Ketika seseorang telah menyatakan diri Muslim tentu pada dirinya melekat berbagai informasi dan pengetahuan tentang apa itu Islam. Bagaimana menjalankan ajarannya. Bagaimana menjalankan segala perintah dan menjauhi larangannya.

Akan tetapi, ini tidak cukup untuk menumbuhkan iklim keberagamaan yang mencerdaskan. Kita masih membutuhkan pengetahuan lain yang bisa memberikan pemahaman lebih komprehensif bahwa ajaran dan peribadatan yang dijalankan sebenarnya bermula dari keyakinan agama lain. Salah satu contoh adalah kewajiban berpuasa yang sejak dahulu sudah diwajibkan kepada umat sebelumnya dan diadopsi oleh agama Islam.

Selain itu, kita pun perlu mengetahui bagaimana keberadaan agama kita di antara agama-agama lain yang sudah hadir sebelumnya. Jika kita memahami sebuah riwayat Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan bahwa ajaran Islam yang dibawa beliau hanyalah semacam batu bata terakhir yang dipasang dalam sebuah bangunan, maka keberadaan Islam tidaklah menjadi alat untuk menihilkan ajaran agama lain. kehadiran agama Islam sekadar melengkapi sebuah bangunan kepercayaan yang diekspresikan dan dijalankan oleh masing-masing pemeluknya.

Dalam pembacaan ini, maka dalam bingkai pengetahuan agama secara konstrukif, dinamis, humanis, dan komprehensif, kita akan selalu berupaya merajut pemahaman keagamaan secara cerdas dan tak menjadikan pengetahun agama untuk saling menjatuhkan. Selain itu, kita juga akan selalu berusaha mempelajari agama lain sebagai sarana memperkuat pengetahuan keagamaan kita sendiri. Setidaknya kita bisa mengetahui bagaimana memosisikan diri secara arif.

Dengan kata lain, merujuk pandangan Prof Amin Abdullah—guru besar perbandingan agama UIN Sunan Kalijaga— ”untuk menjadi religius, kita harus memiliki pengetahuan lintas agama”. Dalam hal ini, mengetahui agama lain bukan berarti harus masuk ke dalam agama itu, melainkan berusaha memahami dan mengerti ajaran-ajarannya agar menghindari kesalahpahaman yang memicu konflik.

Semangat moderasi dalam menumbuhkan literasi keagamaan demikian akan berdampak pada sikap lebih humanis, yaitu membangun sikap saling memahami secara konstruktif dan dinamis tentang segala hal yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bertukar pikiran tentang praktik keberagamaan inklusif guna memperkuat hubungan sosial keberagamaan yang toleran.

Saling memahami

Dalam kondisi sosial keberagamaan yang menegaskan sikap saling memahami (mutual understanding), kita akan selalu waspada diri untuk mencegah cara-cara otoritarian dan despotik dalam menyampaikan ajaran agama. Kita pun akan selalu melek untuk tidak menyertai berbagai bentuk ujaran yang bernuansa cacian dan makian tentang agama lain hanya karena tidak sama dengan sistem keyakinan kita. Sebab, pola sajian agama yang demikian hanya akan memperbesar kubang perbedaan dan memerosokkan orang dalam pusaran konflik horizontal.

Di samping itu, sesungguhnya puncak dari pemahaman keagamaan yang dalam adalah jika di antara masing-masing orang dan kelompok terlibat dalam sikap saling memahami. Seberapa kuat keinginan kita menganalisasi setiap apa yang kita ketahui dari agama untuk dijadikan suplemen ”saling memahami”, maka di situlah titik tumpu literasi agama itu akan tumbuh dengan baik.

Dari sikap saling memahami ini, yang kita imajinasikan bukan sekadar memperkuat ikatan keumatan secara seragam yang terbangun dalam struktur keberagamaan, mnelainkan membangun ikatan kewargaan yang beragam yang didorong atas dasar literasi keberagamaan kita.

Dengan kata lain, merujuk pada pemikiran Stephen Prothero dalam Religious Literacy: What Every American Needs to Know and Doesn’t bahwa literasi agama dapat digunakan sebagai pendorong membentuk ikatan kewargaan yang efektif yang menjembatani setiap ruang keberagaman dan menciptakan sikap saling memahami agar satu dengan yang lain bisa hidup berdampingan secara toleran dan inklusif. Dalam ungkapan Prothero, ”we need religious literacy in order to be an effective citizen.”

Pada titik ini, maka dalam pemahaman keagamaan akan tersumbul semacam kesalehan multikultural (multicultural pieties)—meminjam istilah Prothero —yang akan mengerangkai setiap tindak-tanduk keberagamaan yang moderat, toleran, dan progresif—sebagaimana disampaikan oleh Prof Nasaruddin Umar. Selebihnya, kita berharap rangkaian pertemuan Presiden Jokowi dengan para tokoh agama menjadi ruang pembelajaran bahwa yang perlu kita sematkan dalam pemahaman keagamaan adalah literasi keagamaan dalam merajut sikap saling memahami yang menunjang terciptanya kehidupan berbangsa yang damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar