Selasa, 18 April 2017

Pilkada Berkeadaban

Pilkada Berkeadaban
Azyumardi Azra  ;   Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;  Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
                                                        KOMPAS, 18 April 2017


                                                                                                                                                           

Hampir bisa dipastikan, Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta putaran kedua, Rabu besok, adalah pilkada terpanas dan paling ketat. Dalam ingatan bersama (collective memory), sejak pemilihan gubernur langsung mulai tahun 2005, Pilkada DKI Jakarta kali ini boleh dikatakan paling panas.

Oleh karena itu, tak heran jika banyak juga kalangan luar negeri memberikan perhatian khusus pada Pilkada DKI Jakarta. Dalam percakapan penulis dengan kalangan pemerintahan, politisi, dan masyarakat di Berlin, London, dan Amsterdam, mereka melihat Pilkada DKI Jakarta sebagai kasus menarik. Isu double minority dan tuduhan penodaan agama dapat memengaruhi proses dan hasil demokrasi.

Pilkada DKI Jakarta juga sangat memecah belah (divisive). Ada mertua marah kepada anak dan menantu yang berbeda pilihan. Juga sering ditemukan pertemanan yang rusak karena perbedaan perilaku pemberian suara (voting behavior). Pilkada DKI Jakarta yang panas berbeda dengan pemilu tingkat nasional, baik untuk lembaga legislatif (DPR dan DPD) maupun eksekutif (presiden), terakhir pada 2014. Dalam pemilu, pemilih umumnya tidak terlalu terkait emosional dengan calon atau partai pengusung. Sebaliknya, dalam pilkada, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan pemilih cenderung lebih melekat emosional dengan pasangan calon yang bertarung.

Karena itu, kekerasan yang terjadi di seputar pemilu kebanyakan terkait pilkada. Ketidakpuasan terhadap proses dan hasil pilkada tidak jarang berujung aksi massa yang mengamuk dengan merusak fasilitas umum.

Sikap emosional massa dalam menyikapi proses dan hasil pilkada juga banyak terkait kepentingan warga, baik secara politik, sosial, budaya, maupun agama. Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta bahkan isu agama menjadi terkait atau dikaitkan langsung oleh kelompok dan kalangan pemilih dengan agama.

Oleh karena itu, dalam berbagai literatur tentang pemilu lokal disimpulkan, pilkada di tingkat provinsi (negara bagian) dan kota/kabupaten pada praktiknya hampir selalu lebih penting daripada pemilu legislatif dan pemilu presiden di tingkat nasional.

Kenapa demikian? Hasil pemilu pada tingkat nasional tak terkait banyak dengan kepentingan warga di tingkat lokal. Kebijakan pada tingkat nasional malah sering mengabaikan masyarakat lokal di daerah tertentu. Pilkada seolah menjadi pertaruhan, tidak bisa ditawar-tawar, menjadi pertarungan tanpa kompromi (zero-sum game). Apalagi pilkada itu adalah Pilkada DKI Jakarta, ibu kota Republik Indonesia yang sering menjadi barometer bagi daerah lain.

Panasnya Pilkada DKI Jakarta menghasil- kan berbagai ekses yang secara substantif kebanyakan bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan). Ini terlihat, misalnya, dari penolakan pengurus masjid menshalatkan jenazah yang di masa hidupnya mendukung pasangan calon tertentu. Kasus terakhir adalah "pengusiran" calon wakil gubernur Djarot Saiful Hidayat seusai Jumatan di sebuah masjid di Tebet, Jakarta Selatan.

Berbagai ekses itu mencerminkan bahwa menjelang Pilkada DKI Jakarta terjadi kemerosotan keadaban (civility) secara signifikan. Bukan tidak mungkin, tindakan tidak berkeadaban juga muncul pada hari pencoblosan 19 April.

Memang keadaban politik mesti bisa dise- maikan kepada anak-anak dan remaja sejak dari lingkungan keluarga dan sekolah. Mereka diberi panduan tentang kewarganegaraan yang baik, misalnya tentang berdemokrasi berkeadaban, menghormati perbedaan pandangan dan sikap politik, serta menghindari terjerumus ke politik divisif dan konflik.

Para pemimpin mahasiswa dari 14 perguruan tinggi di Amerika Serikat memberikan beberapa tips tentang bagaimana menumbuhkan keadaban politik: bersedia mendengar pandangan politik berbeda; mencari komonalitas di antara pandangan dan sikap politik; mengakui legitimasi pandangan dan sikap politik berbeda; menghindari penggam- baran karikaturis dan pelabelan lawan politik; dan mempertimbangkan konsekuensi pernyataan dan sikap politik tertentu.

Meski ada panduan semacam itu, keadaban warga bisa dengan cepat merosot. Kemerosotan keadaban terjadi ketika elite politik dan elite sosial mengeluarkan pernyataan emosional. Atau mengambil langkah tertentu yang meningkatkan tensi dan ketegangan dalam masyarakat luas.

Padahal, elite sosial (dan agama) semestinya dapat menenangkan keadaan. Ketenangan sosial jelas merupakan prasyarat penting tidak hanya untuk penyelenggaraan pilkada berkualitas, tetapi juga guna memelihara kohesi sosial yang mutlak untuk stabilitas politik dan pembangunan.

Dalam konteks itu, masing-masing pasang- an calon dengan elite politik dan elite sosial keagamaan mesti mengadopsi sikap "siap menang, siap kalah" dalam menyikapi hasil pilkada. Dengan cara begitu, masing-masing pihak bisa menghindari terjerumusnya massa ke dalam aksi kekerasan dan anarki.

Penegakan kembali keadaban, seperti dalam situasi Pilkada DKI Jakarta yang panas, tak bisa hanya dengan imbauan moril kepada pasangan calon serta elite politik dan elite sosial-keagamaan. Di sini perlu peran aparat keamanan dan penegak hukum. Aparat penegak hukum, misalnya, harus memastikan tidak ada intimidasi, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat memengaruhi pemilih di tempat pemungutan suara.

Tak kurang pentingnya adalah pengamanan penghitungan suara. Aparat penegak hukum agar menjalankan tugas sebaik-baiknya untuk memastikan tidak terjadi kericuhan. Taruhannya terlalu besar untuk stabilitas politik dan pembangunan. Seyogianya semua pihak memastikan Pilkada DKI Jakarta berlangsung damai, umum, dan rahasia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar