Senin, 29 Mei 2017

Lelah

Lelah
Putu Setia  ;   Pengarang;  Wartawan Senior Tempo
                                                       TEMPO.CO, 27 Mei 2017



                                                           
Bangsa kita ternyata tak pernah lelah. Jika saja tak lelah itu dalam urusan menjaga negara kesatuan, mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, merajut terus kebinekaan, dan memupuk toleransi sebagaimana diwariskan pendahulu, tentu sesuatu yang membanggakan. Namun yang terjadi belakangan ini justru memprihatinkan. Kita tak pernah lelah untuk bertengkar, saling menghujat, dan saling menyalahkan. Kebenaran dimonopoli oleh sebuah kelompok atau golongan, bukan sebagaimana para bijak menyebutkan bahwa kebenaran bisa datang dari segala arah, termasuk arah yang tidak kita sukai.

Presiden Joko Widodo sangat jelas menyebutkan betapa parahnya situasi belakangan ini ketika kita tak lelah untuk saling berbenturan. Sesuatu yang sia-sia. Energi dibuang percuma berbilang tahun hanya untuk saling menghujat. Berita bohong alias hoax terus-menerus diproduksi, entah oleh siapa. Bisa jadi hoax dibuat sendiri oleh seseorang atau sekelompok orang lalu diributkan sendiri oleh orang atau sekelompok orang itu seraya menuduh orang lain yang melakukannya. Sudah tak jelas lagi siapa yang salah dan siapa yang benar. Kesalahan atau kebenaran ditentukan oleh siapa yang paling banyak bersuara.

Meski menyampaikan rasa kesalnya ini dengan gestur kemarahan, Jokowi tak pernah menyebutkan satu contoh peristiwa apa yang dia maksudkan sebagai "pekerjaan sia-sia yang harus segera dihentikan" itu. Tapi orang tak perlu menebak contohnya karena semua sudah kasat mata. Sebut saja kasus Basuki Tjahaja Purnama, baik dalam urusan apa yang disebut penistaan agama maupun dalam kaitan pemilihan Gubernur Jakarta. Ini pun sesungguhnya hanya satu contoh.

Terjadi dua kubu besar. Satu kubu melakukan aksi demo berjilid-jilid meminta Basuki alias Ahok diberhentikan sebagai Gubernur Jakarta dan dimasukkan penjara. Padahal proses hukum sudah berjalan dan dalam situasi yang normal serta bermartabat seharusnya hukum di atas segalanya. Sudah bisa ditebak kubu lain menuduh kubu yang berdemo itu mencoba intervensi hukum. Lalu, ketika proses hukum selesai tahap pertama di pengadilan negeri dan Ahok betul ditahan, kubu pro-Ahok juga melakukan berbagai aksi seraya menyebutkan keadilan sudah mati. Hidup-matinya keadilan seolah-olah bisa dinobatkan oleh sebuah kelompok. Adapun sistem peradilan yang kita miliki berjenjang, masih ada pengadilan banding lalu diteruskan dengan pengadilan kasasi. Betapa panjangnya perjalanan kasus itu dan betapa tak lelahnya orang-orang untuk beraksi.

Maka, ketika Ahok menulis surat dari rumah tahanan dan dibacakan istrinya dengan terisak, kita segera disadarkan bahwa kelelahan untuk melakukan pekerjaan sia-sia ini harus diakhiri dan Ahok melakukan peran besar itu. Ahok mencabut memori banding. Ia rela dipenjara dengan harapan aksi yang melelahkan dan memacetkan jalanan segera diakhiri. Kalaupun peradilan banding tetap bersidang karena "kemauan" jaksa dan apa pun hukuman yang ditimpakan kepada Ahok, itu bukan urusan Ahok lagi. Itu urusan hukum, urusan jaksa dan hakim, begitu kalau disederhanakan.

Momentum ini harusnya meredam saling hujat dan caci maki, lalu kita kembali pada persoalan bangsa yang semakin membuat miris, munculnya radikalisme dan ancaman teroris. Aksi brutal ISIS sudah tiba di Filipina, semakin dekat dengan kita. Teror bom muncul di Kampung Melayu. Kita tak takut, tapi seharusnya di sini kita tak lelah-lelah untuk meyakinkan umat bahwa jihad dengan teror itu bukanlah ajaran agama. Itu jihad kebodohan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar