Kamis, 25 Mei 2017

Lirih Jeritan Alam

Lirih Jeritan Alam
Sindhunata ;   Wartawan;  Pemimpin Majalah Basis
                                                          KOMPAS, 24 Mei 2017




                                                           
Wir sind nur Gast auf Erden, kami hanyalah tamu di Bumi ini. Begitulah sebuah judul lagu religius klasik di Jerman. Lagu karangan penyair Georg Thurmair itu biasa dinyanyikan untuk mengiringi upacara penguburan. Tapi sebenarnya dalam lagu tersebut tersimpan rasa perlawanan terhadap rezim Nazi yang fasis: kita bukanlah penguasa, tapi hanyalah tamu di Bumi ini.

Kita hanyalah tamu di Bumi ini! Ini juga pernah disuarakan Surono, mantan Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana. Seperti pernah dituturkan kepada wartawan muda Regina Safitri (2015), Mbah Rono, panggilan akrab Surono, mengatakan, Bumi ada sejak 4,5 miliar tahun lalu, sedangkan manusia datang ke Bumi dalam hitungan ribuan tahun lalu. "Artinya, manusia hanyalah tamu dari Bumi ini." Itulah sebabnya, tambah Mbah Rono, dalam lagu Indonesia Raya ada kata-kata "hiduplah tanahku, hiduplah negeriku". Tanah mendahului negeri, artinya jika tanah didahulukan, negerinya akan makmur.

Sebagai tamu di Bumi ini, manusia haruslah hormat dan belajar pada Bumi sebagai tuan rumah. Dengan begitu, manusia dapat berlaku arif, sopan, bisa hidup harmonis dan beroleh kearifan lokal. "Kearifan lokal dibentuk dari budaya setempat, diturunkan oleh nenek moyang, maka harus dijaga. Jika dihayati, kearifan lokal pasti mengandung nilai-nilai yang baik bagi masyarakat," tutur Mbah Rono.

Kearifan lokal adalah inti budaya yang diberikan Bumi. Karena itu, sebenarnya budaya bukanlah semata-mata bikinan manusia, tapi juga anugerah Bumi terhadap manusia. Dan, karena Bumi di masing-masing tempatnya adalah khas, demikian pula budaya yang diberikannya juga khas, berbeda satu terhadap lainnya. Maka, meski sama-sama berada di Indonesia, bumi dan budaya Madura lain dengan bumi dan budaya Jawa, lain lagi dengan bumi dan budaya Sumatera, atau dengan Kalimatan, Sulawesi, dan Papua.

Indonesia membentang tepat di bawah garis khatulistiwa. Di sini matahari bersinar tiada tandingnya. Terangnya menjadikan hijau dan subur aneka ragam hayati, menjadi zamrud khatulistiwa. Menjadi lebih elok lagi, karena keragaman hayati itu juga memberikan keragaman budaya, yang indah dan khas pada diri masing-masing.

Bahwa kita tidak tahu, mengapa ada keragaman hayati itu, demikian juga kita tidak tahu mengapa ada keragaman budaya bersamaan dengan keragaman hayati itu. Di sini baik kita ingat kata-kata filsuf sejarah Oswald Spengler, alam itu ada dalam keindahan yang hidup seperti digambarkan oleh penyair Goethe, bukan mati seperti dalam rumusan prinsip-prinsip Newton. Lalu bersama alam itu tumbuhlah kultur sebagai bunga-bunganya. Kata Spengler, "Kultur tumbuh begitu saja, tak bisa ditentukan dan seakan tanpa tujuan, persis seperti bunga-bunga tumbuh di ladang-ladang."

Kita tak dapat mencegah bunga yang satu tumbuh berbeda dari bunga lainnya. Maka, kita juga tak dapat mencegah kultur yang satu tumbuh berbeda dari kultur lainnya. Menyeragamkan kultur tidaklah mungkin, setidak mungkinnya seperti kita menyeragamkan tumbuhnya bunga-bunga. Itulah kearifan budaya yang diberikan oleh keanekaragaman alami zamrud khatulistiwa bumi Indonesia ini.

Usaha menyeragamkan pastilah sia-sia karena kita akan berhadapan dengan alam Indonesia yang tak mungkin bisa dan mau diseragamkan. Atau kalau memaksakannya, dalam istilah Mbah Rono, "Kita hanya akan menjadi manusia yang tak beradab, kurang sopan, dan tak menghormati tata cara hidup sebagai tamu di hadapan bumi pertiwi Indonesia ini."

Dan, alam serta keragaman hayati budayanya pun takkan diam, bila ia diinjak-injak untuk diseragamkan, seperti terjadi belum lama ini. Protes alam ini menitik menjadi air mata, ketika baru-baru ini kita menangis karena mendengar di mana-mana warga menyanyikan lagu-lagu keindonesiaan.

Dalam lagu "Indonesia Raya", "Satu Nusa Satu Bangsa", "Rayuan Pulau Kelapa", "Indonesia Tanah Air Beta", alam Nusantara kita akui dan syukuri, kita puja, dan keragaman budayanya kita terima sebagai anugerah. Tapi sudah lama, alam itu kita khianati. Kita tak mampu lagi mendengar jeritannya. Hati kita yang penuh kepentingan ini terlalu keras untuk mendengar tangisnya. Maka, alam pun menyelinapkan tangisnya di mata kita, memaksa kita mengaku bahwa kita telah bersalah karena menyangkali keragaman kita. Mengapa tangis itu begitu mengharukan? Karena tangis itu bukanlah tangis kita, tetapi tangis kedahsyatan alam Indonesia yang sedang menjeritkan penderitaannya.

Sungai cinta

Pada dirinya alam adalah harmonis. Dan bila terganggu, alam selalu bisa mengembalikan keharmonisan dirinya. Maka, jika kita belajar pada alam, keharmonisan pula yang akan kita peroleh darinya. Ini misalnya terjadi dalam fenomena menyatunya Kali Opak dan Kali Progo menjadi Selokan Mataram di Yogyakarta pada 1981. Para sesepuh bumi Mataram percaya, suatu saat Kali Opak dan Kali Progo akan bersatu. Bila perkawinan itu terjadi, bumi Mataram akan makmur dan damai. Upaya "perkawinan" itu dikerjakan sejak zaman Belanda, dilanjutkan di zaman Jepang dan awal Republik Indonesia, tapi baru terwujud sepenuhnya pada 1981 dengan selesainya pembangunan Selokan Mataram. Karena Selokan Mataram, irigasi menjadi lebih lancar, sawah-sawah mendapat cukup air, dan pertanian menjadi lebih makmur.

Namun, menurut para sesepuh, perkawinan Kali Opak dan Kali Progro itu punya makna yang lebih daripada sekadar manfaat material belaka. Kata mereka, digali dari maknanya, Opak itu berkenaan dengan lakuning urip, perjalanan hidup. Sedangkan Progo berkenaan dengan sangkan paran, atau tujuan hidup. Perjalanan hidup ini harus mengarah ke satu tujuan, yaitu manunggal atau menjadi satu dengan tujuan hidup. Itulah yang dilambangkan dengan tempuk-nya atau kawinnya Kali Opak dan Kali Progo. Bila kemanunggalan itu terjadi, penduduk bumi Mataram akan hidup lebih harmonis, damai dan bahagia.

Kisah serupa ternyata terjadi juga di Nigeria. Di sana ada dua sungai, Sungai Benue yang airnya kehijau-hijauan, dan Sungai Niger yang airnya ke kuning-kuningan. Dua sungai itu berbeda sumbernya. Toh keduanya mengalir dan kemudian menjadi satu di Lokaja, sebelah selatan dari pusat Nigeria. Realitas alam ini menjadi inspirasi bagi Chidi Kwubiri, seorang seniman Nigeria, untuk menciptakan karya lukisnya. Dan ia memberi judul lukisannya: "Aku Ada, Karena Kamu Ada".

"Juga bila asal kita berbeda, dan kita mempunyai identitas yang berbeda-beda, kita tetaplah kita. Kita mengarah pada yang lain, dan berkata, aku ada, karena kamu ada," kata Kwubiri. Dalam karyanya dilukiskan dua figur manusia yang serupa. Hanya warna dan latar belakangnya berbeda. Yang satu kehijau-hijauan, dan yang lain kekuning-kuningan. Figur yang hijau meletakkan tangannya pada bahu figur yang kuning, dan tangannya menjadi kuning. Sedangkan figur yang kuning meletakkan tangannya pada bahu figur yang hijau dan tangannya menjadi hijau.

Kedua kontras warna itu menggambarkan batas yang memisahkan. Namun, batas itu ternyata bisa menjadi jembatan yang mempersatukan, bila manusia yang berbeda mau saling menyapa, berpandangan, dan meletakkan tangannya pada bahu satu sama lainnya. "Perjumpaan mereka yang saling berbeda akan menjadi kekuatan tak terkira, seperti kekuatan karena bersatunya dua kekuatan alam yang berbeda," kata Kwubiri.

Perjumpaan itu merobohkan batas yang memisahkan. Karena perjumpaan itu sesungguhnya adalah cinta. Lukisan Kwubiri itu seakan mengungkapkan puisi sufi agung Rumi, yang menyeru agar kita mau mengalahkan akal dengan cinta. Kata Rumi, akal bilang pada kita, arah-arah itu menunjukkan batas, yang adalah sebuah akhir, sementara cinta berkata, tidak, tak ada batas di sana, selalu ada jalan di sana, dan aku sering melaluinya.

Gila harta dan kuasa

Lukisan Kwubiri itu telah merekam ajaran alam tentang cinta. Tapi alam juga mengajari kita tentang derita. Inilah pesan dalam pameran perupa Budi Ubrux, berjudul "Rajakaya", di Taman Budaya Yogyakarta, 18-31 Mei 2017. Di sana Ubrux memasang sejumlah patung sapi, dan membuatnya jadi seperti pasar sapi. Di Jawa, bersama ayam, bebek, mentok, kambing, dan kerbau, sapi disebut rajakaya. Artinya, sapi adalah milik yang bisa memberikan kaya pada pemiliknya. Secara khusus, sapi disebut rewange wong tani, pembantu para petani. Orang di pedesaan Jawa juga percaya, sapi itu adalah ingon-ingone atau hewan piaraan Nabi Sulaiman, yang diserahkan pada petani untuk membantu mereka bekerja. Karena itu, sapi harus dirawat dan dihargai. Di beberapa desa Jawa Tengah, penduduk menjalankan amanah itu, misalnya dengan mengadakan selamatan atau lebaran sapi.

Akhir-akhir ini derajat sapi sebagai rajakaya sungguh turun. Berita-berita gencar mengeluhkan nasib peternak sapi lokal. Peternakan sapi lokal lesu dan terancam bangkrut. Mereka tak berdaya dalam bersaing dengan produk daging sapi impor. Celakanya, perdagangan daging sapi impor merupakan lahan subur bagi praktik korupsi. Tentu saja ini juga berakibat pada makin terpojoknya produk daging sapi lokal. Pemerintah kelihatannya belum serius mewaspadai kejadian ini, apalagi mengambil tindakan tegas untuk mengawasi peredaran daging impor. Jika dibiarkan, peternak sapi lokal terdemotivasi, dan kehilangan hasrat memelihara dan berdagang sapi (Kompas, 29/4/17).

Maka, perhatikanlah nasib sapi lokal itu! Kiranya, itulah pesan Ubrux lewat instalasi pasar sapinya. Ubrux tak membiarkan sapinya tinggal polosan. Ia melukisi sapinya dengan segala macam tanaman hasil bumi petani: cabai hijau dan merah, bawang putih, brambang, kol ungu, laos, kunir, jambu mete, pisang, pepaya, belimbing, bengkoang, kesemek, nanas, srikaya, ubi, ketela, jagung, padi. Segala kekayaan desa jadi kelihatan di atas tubuh sapi-sapi. Di tubuhnya juga kelihatan gambar perempuan-perempuan desa gembira menabuh lesung karena panenannya. Sapi itu jadi tampak sebagai pembawa pengharapan dan kegembiraan mereka.

Sesuai ciri khas lukisnya, Ubrux lalu membungkus kepala-kepala sapinya dengan cetakan koran. Segala simpang-siur berita harian koran yang memusingkan hidup menjadi bagian dari diri sapi itu. Ini jadi menimbulkan kesan, betapa berat "beban pikiran" yang harus ditanggung sapi-sapi itu dalam kepalanya. Berita tentang harga tak terkendali, dualisme pimpinan, dana yang tersampir di pusat, lintah darat dan tuan tanah yang tertangkap, sulitnya kredit pupuk, turunnya harga gabah, dan kenaikan harga kebutuhan pokok, semuanya itu tercetak di kepala sapi-sapi itu.

Lewat kepalanya yang terbungkus koran, sapi-sapi seakan ingin menyuarakan amanat penderitaan rakyat. Sementara sapi-sapi itu sendiri juga ingin bicara dan memperdengarkan nasibnya, bahwa sekarang ini mereka bukan lagi rajakaya, tetapi sekadar komoditas setaraf barang produksi belaka. Tragika sapi ini dipertajam lagi dengan instalasi berikut.

Ubrux memasang sepasang sapi, yang menarik mobil. Menghela cikar atau gerobak, itu adalah normal buat sapi. Tapi menghela mobil? Ini sungguh suatu keterlaluan. Apalagi mobil itu adalah mobil BMW. Mobil itu sudah punya mesin untuk bisa berjalan, mengapa mobil itu masih harus ditarik sapi? Kecepatan mobil itu puluhan kilometer per jamnya. Masihkah mobil ini harus meminta pertolongan sapi yang jika menarik gerobak paling-paling bisa hanya berjalan 2-3 kilometer per jam? Betapa teganya perbudakan modern itu.

Instalasi Ubrux ini tiba-tiba mengingatkan, sapi itu bukanlah sekadar sapi. Sapi itu adalah rakyat. Dari dulu sampai sekarang, rakyat itu harus terus menghela beban. Bahkan di zaman sekarang ini, rakyat juga masih harus menarik mereka yang kaya, agar mereka tetap bisa berleha-leha dan bersenang-senang dengan "kendaraan kemewahannya".

Sapi-sapi rakyat itu bukan hanya menarik ambisi gila harta para penguasa dan mereka yang kaya, tapi juga harus menghela ambisi gila kuasa politik mereka. Sapi-sapi itu dijadikan budak penghela kereta politik mereka. Jika terlalu diam, sapi-sapi itu dicambuki dengan pecut-pecut provokasi, kalau perlu dengan menghalalkan kekerasan. Para penguasa politik itu menjanjikan kebebasan. Namun diam-diam, menyiksa sapi-sapi itu menjadi ciptaan ternista yang tanpa kebebasan.

Waktu itu, 3 Januari 1889, Friedrich Nietzsche keluar dari pondokannya, mau pergi berjalan-jalan. Saat-saat itu ia sedang berada dalam gangguan jiwa yang sudah akut. Ia pergi menuju Plazza Carlo Alberto di kota Turin. Di sana ia melihat, bagaimana kusir dengan amat brutal memecuti kuda penarik keretanya. Nietzsche menangis, dan dengan meratap ia memeluk kuda itu penuh iba.

Tak tahu apa yang terjadi pada saat itu. Mungkin ia melihat segalanya jadi sia-sia. Sepanjang hidupnya ia terbayang-bayang akan "manusia super", manusia yang mengatasi kepicikan, keterbatasannya, manusia yang tidak seharusnya kalah dengan Tuhan yang membatasinya. Sekarang dengan melihat penderitaan binatang berupa kuda itu, semuanya rontok, semuanya seakan percuma. Sia-sialah pencapaiannya, sia-sialah kidung Übermensch dan Zarathustra-nya. Melihat kuda yang menderita itu, Nietzsche menangis, memeluknya, dan kemudian rebah. Ia telah menjadi sungguh-sungguh gila.

Di Pasar Sapi Ubrux ini, kita melihat bahwa sepasang sapi kelelahan menarik mobil BMW mewah. Sungguh sebuah pemandangan gila. Ironi itu membuat kita bertanya: jangan-jangan hidup ini sudah menjadi gila, sampai para penguasa dan mereka yang kaya membuat tindakan demikian tidak masuk akal, memaksa sapi menghela kereta gila harta dan kereta gila kuasa politik mereka? Kita merasa, sapi-sapi itu bukan lagi sapi, tapi alam bumi Indonesia yang sedang menjeritkan nasib rakyat kecil yang menderita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar