Minggu, 16 Juli 2017

Menyusun Rencana Kabur dari Kemiskinan

Menyusun Rencana Kabur dari Kemiskinan
Hasanudin Abdurakhman  ;   Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
                                                    KOMPAS.COM, 19 Juni 2017



                                                           
Bagi saya penyebab utama kemiskinan adalah pola pikir dan kemalasan. Artinya, kalau mau membebaskan diri dari kemiskinan, orang harus mengubah pola pikirnya, dan bekerja keras.

Akibatnya saya dikritik. Kata pengritik, seolah saya hendak mengatakan bahwa orang-orang miskin itu pemalas. Kemiskinan, kata mereka, bukan melulu soal kerja keras atau pemalas, tapi juga terkait dengan kebijakan pemerintah. Mereka menyebutnya kemiskinan struktural.

“Kurang keras bagaimana lagi para buruh atau kuli itu bekerja, tetap saja mereka miskin,” kata mereka.

Ketika bicara soal kemiskinan dan orang miskin, saya lebih suka membicarakannya sebagai “kita”, bukan “mereka”. Maka, ketika saya bicara soal kemalasan, itu bukan untuk menuding atau merendahkan, tapi sebagai evaluasi untuk memperbaiki diri. Ini soal mencari apa yang salah, bukan menyalahkan.

Banyak orang bekerja keras, tapi tetap miskin. Apa yang kurang kalau begitu? Saya suka mengandaikan kemiskinan itu seperti gravitasi. Kita dan semua benda bermassa terikat oleh gaya gravitasi bumi. Kalau kita melompat ke atas, kita akan ditarik kembali ke muka bumi. Kalau kita terbang dengan pesawat, kita harus mendarat kembali.

Bisakah kita lepas dari ikatan gaya gravitasi itu? Bisa. Hanya saja, kita memerlukan energi besar. Energi itu setara dengan yang diperlukan untuk melempar benda dengan kecepatan 11,2 km/detik, atau 40.320 km/jam.

Kecepatan ini disebut escape velocity atau kecepatan kabur. Seberapa cepat itu? Rekor kecepatan tertinggi sebuah pesawat terbang hingga saat ini adalah 3.530 km per jam, jauh di bawah kecepatan kabur tadi.

Para penjelajah ruang angkasa berhasil membebaskan diri mereka dari ikatan gravitasi bumi. Dengan roket yang membawa bahan bakar sumber energi dalam jumlah besar. Sejumlah energi digunakan dalam suatu rentang waktu yang lama.

Artinya, diperlukan energi dalam jumlah besar, juga diperlukan waktu yang lama. Bila tidak cukup, apa boleh buat, kita akan kembali jatuh ke bumi.

Begitu pula dengan kerja untuk membebaskan diri dari kemiskinan. Kerja keras saja tidak cukup. Kita perlu kerja keras dalam waktu yang lama, dan juga perlu strategi untuk memastikan bahwa kita tidak terjatuh kembali. Saya menyebutnya dengan rencana kabur, atau escape plan.

Berikut beberapa kunci dalam rencana kabur untuk membebaskan diri dari kemiskinan.

Pertama, pastikan kita bekerja dengan penghasilan memadai. Bekerja tanpa penghasilan memadai, seberapa keras pun, seberapa lama pun, tidak akan membebaskan kita dari kemiskinan.

Intinya, harus ada sejumlah uang dari penghasilan kita yang kita sisihkan untuk memperbesar tenaga kita dalam rangka membebaskan diri tadi.

Bagaimana kalau yang kita terima saat ini ternyata kurang? Cari pekerjaan lain. Tapi bagaimana bila tidak ada pilihan lain? Ada! Yang mengatakan tidak ada itu adalah orang yang menderita penyakit miskin pikiran. Itu yang membuat dia tidak bisa keluar dari kemiskinan.

Maaf, saya harus mengatakan ini. Saya melihat begitu banyak orang yang melakukan pekerjaan tanpa masa depan. Mereka bekerja hanya cukup untuk makan sehari-hari, bahkan kurang. Tapi mereka tidak mau berganti pekerjaan.

Kebanyakan berkata, tidak ada pilihan lain. Pilihan ada banyak, dan diambil oleh orang lain. Orang lain bisa, kenapa kita tidak?

Mau contoh nyata? Pekerjaan sebagai pak ogah, pedagang asongan, dan sejenisnya itu, bukan pekerjaan yang bisa membebaskan diri dari kemiskinan. Kalaupun bisa, diperlukan strategi yang sangat khusus, yang nanti akan dijelaskan lebih lanjut.

Kedua, lakukan pekerjaan dengan peningkatan penghasilan. Tanpa peningkatan, kita akan terus bekerja dalam waktu yang lama, dan sulit untuk lepas dari kemiskinan. Tapi, bagaimana caranya?

Kalau kita pedagang asongan, cobalah untuk menjual lebih banyak dari yang lain, dengan cerdik mencari tempat berjualan, atau barang yang dijual.

Tabunglah sejumlah penghasilan untuk dijadikan modal, menambah barang dagangan. Atau, gunakan itu sebagai modal untuk mempekerjakan orang lain.

Seorang tukang harus meningkatkan keterampilannya agar upahnya bertambah. Perlahan ia harus meningkatkan posisi dari tukang biasa menjadi kepala tukang, atau mandor. Kelak ia bisa meningkat jadi pemborong kecil-kecilan.

Apakah semua ini nyata? Ya, ini semua nyata. Ada banyak orang yang berhasil dengan cara seperti itu. Sayangnya lebih banyak yang bertahan, terikat erat pada zona nyaman yang sebenarnya sangat tak nyaman, yaitu kemiskinan.

Jadi, ini jawaban atas pertanyaan tadi. Kerja keras saja memang tidak cukup untuk bebas dari kemiskinan. Perlu kerja dengan peningkatan.

Itulah yang dulu dilakukan emak saya. Ayah dulu bekerja sebagai buruh tadi. Bagi Emak, itu bukan pekerjaan yang bisa membebaskan dia dari kemiskinan, karena hasilnya sedikit dan tidak ada peningkatan.

Emak mengajak Ayah pindah ke kampung baru, membuka lahan, dan membangun kebun. Punya kebun sendiri adalah langkah awal untuk membebaskan diri dari kemiskinan.

Ketiga, prihatin. Artinya, menahan diri dari kemewahan dalam bentuk apapun. Ada banyak orang yang segera ingin menikmati kemewahan saat baru saja mendapat penghasilan lebih baik dari sebelumnya.

Sebagian bahkan tidak sadar bahwa tambahan penghasilan itu sementara saja sifatnya. Mereka mengira itu kekal, lalu berfoya-foya. Saat sumbernya hilang, barulah mereka menyesal.

Sepanjang masa sekolah dulu saya nyaris tak punya baju selain seragam sekolah. Emak sengaja mengajari kami untuk menahan diri, meski sebenarnya sudah mampu membelinya.

Emak memilih memakai uangnya untuk hal-hal yang lebih berguna untuk masa depan. Demikian pula, Emak mengajari kami untuk tidak jajan dan makan di luar. Lebih baik masak sendiri kalau ingin makan enak.

Keempat, lakukan apa saja. Apa saja yang bisa menambah penghasilan, menjadikan hidup kita lebih baik. Kalau kita tidak bisa, belajar. Jangan pernah membatasi diri dengan kata tidak bisa.

Banyak orang sukses dengan cara ini. Mencoba, belajar, coba lagi, sampai berhasil. Dengan cara yang sama ia terus membesar.

Empat poin di atas mungkin belum cukup untuk membuat kita bebas dari kemiskinan. Tapi empat poin itu fundamental. Tanpa itu, kita tidak akan bisa membebaskan diri.

Pancasila Bukan Sekadar Simbol

Pancasila Bukan Sekadar Simbol
Fadhly Azhar  ;   Kabid Keagamaan HMPI (Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia) serta aktif dalam Jaringan Kedaulatan Rakyat Forum Sekolah Bersama
                                                    KOMPAS.COM, 14 Juni 2017



                                                           
BEBERAPA hari setelah Joko Widodo melantik Ketua dan Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (7/6/2017), saya langsung tergugah untuk memikirkan bagaimana Pancasila dapat diterima oleh seluruh aliansi kebangsaan.

Mungkin bagi kaum muda menengah lainnya, ini adalah pekerjaan yang sia-sia mengingat saya hanyalah staf analis kompetensi di sebuah Kementerian yang berkantor di Lapangan Banteng.

Pikiran dan renungan mengenai Pancasila akhirnya dapat terangkum dengan beberapa hal pendapat yang kurang lebih hanya menyentuh epistemologi dan ontologi-nya saja.

Pancasila dalam pemaknaannya seharusnya naik ke-tingkat berikutnya yang lebih tinggi, yaitu pemaknaan Pancasila dalam konteks emansipatoris dan hegemonik.

Saya meyakini bahwa Pancasila lahir tidak hanya berasal dari pemaknaan analisis literatur semata yang kemudian disematkan hanya untuk menjadi simbol-simbol kewarganageraan saja.

Pancasila harus lebih dari itu. Pancasila harus meresap masuk dalam sanubari seseorang dari tuntasnya epistemologis, ontologis, hingga aksiologisnya.

Warga negara Indonesia sedang dihadapkan pada perdebatan yang tidak substansial dari sebuah Pancasila itu sendiri. Perdebatan ini diakibatkan oleh kebingungan-kebingungan yang absurd hingga menimbulkan spekulasi-spekulasi non-intelektuil dari pemaknaan Pancasila.

Ini dibuktikan dengan perdebatan kontra-produktif mengenai tanggal dan bulan yang di mana Pancasila dilihat hanya dari sisi kulit, tidak pada isinya. Ini berarti bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia hanya melihat Pancasila sebagai alat simbol negara semata, bukan sampai pada indoktrinasi terhadap Pancasila itu sendiri .

Walaupun belum ada penelitian secara khusus tentang ini, sangat terasa bahwa Pancasila hanya disandarkan output-nya pada simbolis-dogmatik saja.

Ini sangat rentan, karena Pancasila bisa saja menjadi alat kepentingan politik golongan tertentu seperti yang dilakukan di masa orde baru, di mana Pancasila menjadi instrumen otoriter untuk memukul sendi-sendi kehidupan berserikat dan berpendapat.

Hal yang lebih menakutkan lagi, Pancasila bisa saja menjadi alat untuk memukul habis perkembangan pemikiran progresif warga negaranya akibat ketidaktahuan sejarah dan filosofisnya.

Ketuhanan dan nurani kemanusiaan

Nilai emansipatorik sangat erat kaitannya dengan tujuan pembebasan dari segala bentuk despotisme. Pancasila bukanlah hanya merupakan sakralisasi teks, di mana persoalan ke-ilahian dalam segi wahyu dan kemanusiaan dalam Pancasila menjadi terpisah.

Dinamika wahyu ke-ilahian dan kemanusiaan dalam Pancasila sejatinya harus bergeser menjadi sakralisasi substantif di mana kepercayaan serta keimanan yang berbeda-beda mampu menjadi semangat ke-ilahian yang membebaskan.

Ini menjelaskan bahwa despotisme tidak seharusnya mendapat tempat dalam pergaulan berbangsa dan bernegara walau berbeda keimanan.

George Meredith mengatakan bahwa dalam tragedi kehidupan manusia, tidak dibutuhkan seorang penjahat, tetapi hawa nafsu manusia sendiri sudah menjadi jebakan baginya, dan manusia dikhianati oleh apa yang palsu di dalam dirinya.

Hal ini tampaknya terartikulasikan dalam krisis yang tengah melanda dunia, termasuk bangsa Indonesia. Dan krisis itu adalah krisis yang sangat fundamental yang dampaknya akan dapat sangat dahsyat pula, dan berbahaya (Kartohadiprodjo, 2010, hal. 30).

Apa yang dikatakan oleh George Meredith dalam Kartohidaprojo sejatinya merupakan akibat dari marginalisasi nilai-nilai keilahian dari persoalan pembelaan terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Ketika manusia sibuk dengan unsur jasadiyahnya mempertentangkan perbedaan dogmatik-ritual, maka saat yang bersamaan pula manusia tanpa sengaja memisahkan dinamika keilahian dalam persoalan-persoalan pencemaran lingkungan, persekusi terhadap sesama warga negara, dan eksploitasi dalam industrialisasi itu sendiri.

Inilah mengapa saya sangat meyakini bahwa dalam Pancasila sesungguhnya “Ketuhanan yang Maha Esa” punya kaitan yang sangat linier dengan “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Inilah juga mengapa saya meyakini bahwa Pancasila bukanlah dasar negara yang sekuleristik.

Karena menjauhkan persoalan kemanusiaan dalam unsur keilahian juga merupakan sekulerisme dalam kehidupan beragama.

Persatuan nasional dan iman solidaritas

Setelah menanamkan secara radikal indikator-indikator keilahian terhadap dinamika kemanusiaaan, keadilan dan peradaban itu sendiri, maka kita selanjutnya perlu melakukan linieritas keilahian dan kemanusian dengan komitmen persatuan nasional.

Ernest Renan menginspirasikan Soekarno (1964) bahwa bangsa adalah satu jiwa (“une nation est un ame”). Artinya, bangsa adalah jiwa. Satu bangsa adalah satu jiwa.

Maksudnya, kata Soekarno, “satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar” (“une nation est un grand solidarite”).

Jadi, yang membuat bangsa itu bersatu (satu jiwa) menurut Renan adalah solidaritas antarsesama anggotanya, yang juga kemudian oleh Ernest Renan disebut “kehendak untuk hidup bersama”.

Apa yang dikatakan Soekarno mengenai Ernest Renan (1964) tentang kebangsaan menunjukkan bahwa persatuan nasional menggambarkan solidaritas spiritual dalam kemanusiaan itu sendiri.

Solidaritas spiritual dalam kemanusiaan tersebut setidaknya menjadi komitmen bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menafikan solidaritas spiritual dalam satu jiwa kemanusiaan dan kebangsaan akan menimbulkan conflict of interest, di mana kepentingan sesaat manusia dari kekuasaan golongan-golongan akan berusaha memecah-belah solidaritas bersama.

Persatuan nasional hanya bisa dicapai dengan solidaritas sosial-spiritual yang perlu diintensifkan dan diaktualisasikan dalam kenyataan hidup bersama melalui cinta, keterbukaan, penerimaan dan kepedulian kepada sesama yang berbeda latar belakang kehidupan suku, agama, ras, dan golongannya.

Aktualisasi persatuan nasional tersebut seharusnya menjadi tolak ukur perjuangan bersama dalam kemanusiaan yang lebih hegemonik agar tidak terjadi penindasan antar satu golongan dengan golongan lainnya.

Apa yang saya uraikan soal linieritas tersebut dapat diungkapkan melalui satu kalimat: Satu ruh dan satu jiwa untuk kemanusiaan akan mengantarkan ruh yang lahir dari cahaya ilahiah demi kepentingan bersama dalam perdamaian hidup berbangsa.

Musyawarah dan keadilan sosial

Ketika manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah menuntaskan iman solidaritas spiritual yang emansipatorik tersebut, maka keinginan untuk memajukan kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan harus diaktualisasikan melalui musyawarah perwakilan.

Tulisan saya yang berjudul “Spirit Keagaman dan Iman Kebangsaan” yang dimuat di Kompas.com tanggal 16 November 2016, mencantumkan sedikit soal pentingnya kaum arif-intelektual dalam permusyarawatan perwakilan.

Dalam tulisan tersebut saya menawarkan prasyarat untuk menjadi kaum arif-intelektual setidaknya mendasarkan dirinya pada 5 kompetensi inti: berintegritas, responsif, amanah, progresif dan terukur.

Hikmah kebijaksanaan inilah yang akan menjadi ruh permusyarawatan perwakilan yang disyaratkan. Dalam tulisan tersebut pula, saya menawarkan perlunya standar kompetensi politik bagi yang ingin mencapai permusyarawatan perwakilan, tentunya dengan indikator-indikator penting dalam 5 kompetensi inti yang telah saya sebutkan sebelumnya dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hal inilah yang pernah dikatakan oleh Soekarno, “…kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya”.

Menurut Ulpianus, pakar hukum Romawi kuno, adil atau tidaknya perilaku seseorang terhadap sesamanya dalam komunitasnya ditentukan oleh kemampuannya untuk menghargai hak-hak sesamanya.  Istilah yang dia kemukakan untuk itu adalah “tribuere jus suum cuique” (memberi masing-masing haknya) (K. Bertens, 2000).

Maka, keadilan sosial dalam indikator kesejahteraan sosial dan gotong royong setidaknya bisa meminjam apa yang dikatakan oleh (alm) Pramoedya Ananta Toer, dapat dicapai dengan keadilan semenjak dalam pikirannya.

Spiritualisasi Pancasila dalam perjuangan emansipatorik

Artikulasi nilai dasar spiritual Pancasila dalam perjuangan pembebasan dari despotisme setidaknya patut dijiwai oleh masing-masing warga negara. Kristalisasi nilai luhur yang ada dalam Pancasila harus menjadi penggerak kemampuan, keinginan dan akal-budi kebangsaan bagi masing-masing rakyat Indonesia.

Sejatinya, Pancasila ini bersifat immaterial. Dari yang immaterial tersebut, maka Pancasila harus menjadi daya yang sejalan dengan spiritual keilahian dalam membangkitkan potensi moralitas dan intelektualitas secara sinergis dan berkesinambungan.

Lima mutiara dalam Pancasila setidaknya harus dikupas habis mencapai inti kesadaran dan sikap dasar bangsa Indonesia agar tercapai ketuhanan yang berkebudayaan, solidaritas kemanusiaan dan terwujudnya keadilan yang terbebas dari unsur despotisme.

Bila, kupasan-kupasan tersebut menjadi nalar-indoktrinatif hingga sampai tertanam dalam perilaku, maka secara aksiologi Pancasila telah berhasil menjadi nafas kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahul-muwafiq. Billahi Ilaa Aqwami thariiq.

Kamis, 13 Juli 2017

Menggeser dari 5 Hari Sekolah Menuju Pendidikan Karakter

Menggeser dari 5 Hari Sekolah
Menuju Pendidikan Karakter
Suwendi  ;   Doktor Pendidikan Islam UIN Jakarta
                                                      REPUBLIKA, 23 Juni 2017



                                                           
Belakangan, muncul pernyataan dari istana negara Republik Indonesia yang disampaikan oleh Ketua Umum MUI, KH. Ma’ruf Amin, yang didampingi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, atas penangguhan Permendikbud 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Pasalnya, Permendikbud 23/2017 ini mengundang polemik dan kegaduhan yang sangat masif. Penyelenggaraan kebijakan 5HS (lima hari sekolah) itu memiliki potensi dampak yang amat luas, sehingga masyarakat memprotesnya.

Lebih lanjut, Ketua Umum MUI dalam pernyataan di istana itu menegaskan bahwa ikhtiar kelahiran Permendikbud ini didasarkan atas kepentingan penguatan pendidikan karakter pada siswa sekolah. Pendidikan karakter sebagai bagian dari program Nawacita ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia yang berkarakter dan berkepribadian paripurna sehingga perlu didukung oleh banyak pihak, termasuk melibatkan sejumlah Kementerian/Lembaga dan unsur masyarakat. Atas dasar itu, untuk memperkuat pendidikan karakter diperlukan Peraturan Presiden.

Jika mencermati gejolak penolakan dan apa yang disampaikan oleh KH Ma’ruf Amin itu, maka agaknya berbeda dengan apa yang ditekankan oleh Permendikbud 23/2017 itu. Masyarakat itu menolak atas kebijakan 5HS (5 hari sekolah) karena mengganggu penyelenggaraan pendidikan keagamaan, seperti MDT (Madrasah Diniyah Takmiliyah), Pendidikan Alquran, dan Pondok Pesantren; sementara untuk kebijakan pendidikan karakter itu sendiri justru diterimanya, karena memang sangat dibutuhkan.

Di sinilah, sesungguhnya yang perlu diklarifikasi. Antara kebijakan 5HS dengan pendidikan karakter, itu dua hal yang berbeda. Kebijakan 5HS bukan berarti pendidikan karakter, dan pendidikan karakter tidak mesti diimplementasikan dengan kebijakan 5HS.

Bagi Kemendikbud, Permendikbud 23/2017 yang diteken per 12 Juni 2017 itu tampaknya dipandang sebagai langkah konkret dalam mengimplementasikan pendidikan karakter, sebagaimana bisa kita baca dari konsideran pertimbangan peraturan tersebut. Padahal, jika kita cermati pasal demi pasal, menurut hemat penulis, permendikbud tersebut sangat simplikatif dan tidak mencerminkan kesesuaian secara signifikan antara pendidikan karakter dengan Hari Sekolah. Permendikbud sama sekali tidak menjelaskan apa itu pendidikan karakter, karakteristik dan metodologi dari pendidikan karakter serta hal-hal substantif lainnya dari pendidikan karakter, yang kemudian kesimpulannya adalah 5HS dalam satu minggu.

Permendibud hanya menjelaskan tentang Hari Sekolah yang dilaksanakan 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau 40 (empat puluh) jam selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu; penggunaan hari sekolah untuk melaksanakan beban kerja guru; hari sekolah dilaksanakan dengan kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler serta hal-hal teknis lainnya. Sekali lagi, sama sekali tidak menjelaskan keterkaitan antara pendidikan karakter dengan kebijakan 5HS.

Tentu saja, kesimpulan 5HS sebagai implementasi kebijakan karakter ini malah justru kontraproduktif dengan pendidikan karakter itu sendiri. Pasalnya, kebijakan 5HS itu sangat potensial menghilangkan ruang gerak atas operasionalisasi layanan pendidikan keagamaan yang sesungguhnya menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan karakter. Merujuk data EMIS Kementerian Agama RI tahun 2016, kebijakan 5HS ini akan berdampak terhadap pada pendidikan keagamaan Islam dan Pendidikan Umum Berciri Khas Islam (MI/MTs/MA).

Dampak LHS

Dampak terhadap pendidikan keagamaan Islam meliputi sebagai berikut. Pertama, setidaknya ada 17.006.288 santri pada pendidikan keagamaan Islam yang akan terganggu dengan kebijakan ini. Mereka terdiri dari 3.649.396 santri pondok pesantren yang mengaji kitab kuning merangkap sebagai siswa pada sekolah (SD/SMP/SMA/SMK) dan madrasah (MI/MTs/MA); 6.000.062 santri pada Madrasah Diniyah Takmiliyah baik tingkat ula, wustha maupun ulya; dan 7.356.830 santri pada pendidikan Al Quran (TKA, TPA, dan TQA).   

Kedua, setidaknya ada 225.719 lembaga pendidikan keagamaan Islam yang terkena imbas, yang terdiri atas 14.293 pondok pesantren yang menyelenggarakan kajian kitab kuning sekaligus melakukan layanan pendidikan sekolah (SD/SMP/SMA/SMK) dan madrasah (MI/MTs/MA); 76.566 Madrasah Diniyah Takmiliyah baik tingkat ula, wustha maupun ulya; dan 134.860 pendidikan Al Quran yang terdiri atas TKA (Taman Kanak-kanak Al Quran), TPA (Taman Pendidikan Al Quran), dan TQA (Ta’limul Quran lil Awlad).

Ketiga, 1.386.426 pendidik di lembaga pendidikan keagamaan Islam, yang terdiri atas 322.328 pendidik pada pondok pesantren, 443.842 pendidik pada Madrasah Diniyah Takmiliyah baik tingkat ula, wustha maupun ulya; dan 620.256 pendidik pada pendidikan Al Quran yang terdiri atas TKA, TPA, dan TQA (Ta’limul Quran lil Awlad).

Di samping itu, penyelenggaraan pendidikan umum berciri khas Islam, yakni Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) dipastikan akan kena dampak secara langsung atas kebijakan 5HS. Setidaknya, terdapat 77.336 lembaga madrasah (RA: 27.999, MI: 24.560, MTs: 16.934 dan MA: 7.843), 820.839 guru madrasah (RA: 48.596, MI: 269.460, MTs: 265.784, MA: 236.999), dan 9.252.437 siswa madrasah (RA: 1.231.101, MI: 3.565.875, MTs: 3.160.685, dan MA: 1.294.776).

Kini dalam durasi 6 (enam) hari belajar dalam satu minggu, dengan menggunakan kurikulum 2013 siswa MI kelas 5-6 belajarnya hingga pukul 13.00; siswa MTs belajar hingga pukul 14.30; dan siswa MA belajar hingga pukul 17.00. Bahkan, siswa MA dengan peminatan keagamaan berada di madrasah hingga pukul 18.00-19.00. Pendidikan umum berciri khas Islam (RA, MI, MTs, MA) ini di samping menyelesaikan beban kurikulum mata-mata pelajaran pendidikan umum sebagaimana sekolah, juga mengajarkan 5 (lima) mata pelajaran agama sebagai pengembangan ciri khas agama Islam, yakni Alquran-Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab.

Jika layanan pendidikan madrasah ini diwajibkan dengan mengikuti kebijakan 5HS, maka siswa yang mengikuti pendidikan madrasah ini akan semakin larut dan sama sekali tidak akan efektif. Tentu ini menambah beban resistensi tersendiri. Dalam hal ini, penulis mengapresiasi sikap Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, yang memposisikan kebijakan 5HS itu hanyalah sebagai pilihan, untuk tidak mengatakan menolak secara tegas atas kebijakan 5HS. Sebab, kebijakan 5HS sangat tidak produktif bagi layanan pendidikan di lingkungan Kementerian Agama. (Kompas, 22/06/2017).

Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter merupakan model pendidikan ideal yang diharapkan dapat menumbuhkembangkan kepribadian yang mumpuni. Pendidikan karakter mempersyaratkan adanya seperangkat nilai yang dijunjung tinggi dalam lingkungan pendidikan, bahkan pada tingkat tertentu adanya figur ideal di lingkungan pendidikan. Pendidikan karakter itu sangat holistik, dibutuhkan berbagai pendekatan dan strategi yang amat beragama, sehingga untuk mewujudkan pendidikan karakter diselenggarakan tanpa batas, tidak mengenal waktu dan tempat tertentu.

Pendidikan karakter diharapkan dapat mendorong terbentuknya masyarakat Indonesia yang memiliki karakter dan kepribadian yang paripurna, sehingga perlu mendapatkan dukungan dan pelibatan seluruh elemen masyarakat dan pemerintah. Sebab, pada hakikatnya pendidikan karakter menjadi hajat dan tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia dan pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini bukan hanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semata, tetapi juga Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian/Lembaga lain yang utamanya menjalankan fungsi pendidikan. Untuk itu, kebijakan pendidikan karakter perlu dikomunikasi dan didialogkan dengan seluruh elemen masyarakat dan pemerintah.

Implementasi pendidikan karakter sesuai dengan program Nawacita sebaiknya diselenggarakan dengan memperkuat pendidikan dan pendekatan religiusitas. Sebab, pendidikan keagamaan sangat efektif dalam menanamkan dan menumbuhsuburkan karakter yang dibangun dalam memperkuat nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan. Untuk itu, lembaga pendidikan keagamaan Islam, seperti pondok pesantren, madrasah diniyah takmiliyah, dan pendidikan Alquran sebagai model lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat yang telah eksis sebelum Indonesia ini merdeka telah nyata-nyata berkontribusi besar dalam memperkuat karakteristik keislaman dan keindonesiaan bagi warga negera Indonesia perlu mendapatkan pengakuan, penguatan, dan pemberdayaan serta afirmasi sebagaimana mestinya.

Pendidikan keagamaan Islam lahir dari masyarakat dan diselenggarakan oleh masyarakat sehingga segala keputusan yang terkait dengan kepentingan lembaga pendidikan keagamaan Islam itu harus mendengar dan mencermati aspirasi dari masyarakat, dengan menggunakan pendekatan buttom-up. Dalam banyak pengalaman, keputusan yang terkait atau berdampak terhadap pendidikan keagamaan Islam ini tidak serta merta menyikapi dan membuat keputusannya secara sepihak, tanpa mendengar dan memahami terlebih dahulu aspirasi masyarakat, utamanya para penyelenggara pendidikan keagamaan Islam secara komprehensif. Oleh karena, mendialogkan dan mengkomunikasikan antara rencana kebijakan dengan masyarakat dan komunitas pendidikan keagamaan Islam ini mutlak dilakukan.

Jika kita mampu menggeser perhatian bahwa kini bukan saatnya lagi berkutat pada isu kebijakan dan penerapan 5HS, tetapi kita perlu untuk merevitalisasi pendidikan karakter sebagai kebutuhan kita bersama maka insya Allah tidak akan ada lagi pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. Kebijakan 5HS sama sekali tidak identik dengan pendidikan karakter, dan pendidikan karakter tidak harus diimplementasikan dalam 5HS. Sisi penting inilah yang setidaknya harus difahami ketika merancang Keputusan Presiden yang memperkuat pendidikan karakter itu.

Mempersembahkan Mahakarya Swasembada Pangan

Mempersembahkan Mahakarya Swasembada Pangan
Jaya Suprana  ;   Budayawan;  Pendiri Sanggar Pembelajar Kemanusiaan
                                                      REPUBLIKA, 22 Juni 2017



                                                           
Kegaduhan panggung politik di bulan suci Ramadhan, tidak mereda bahkan makin membahana setelah Ombudsman Republik Indonesia mempermasalahkan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam program bantuan produksi pangan di Kementerian Pertanian. Ombudsman RI menyatakan ada dugaan maladministrasi akibat program yang dimulai sejak 2015 itu hanya berdasarkan nota kesepahaman (MoU).

Pelibatan TNI dianggap tidak sesuai dengan peran dan fungsi tentara sebagai penjaga keamanan utama negara dalam menghadapi serangan musuh dari luar. Tentara dilibatkan mulai dari penyuluhan, pembangunan infrastruktur, pencetakan sawah, distribusi alat mesin pertanian, hingga penyerapan produksi padahal tentara tidak memiliki kompetensi di bidang itu.

Ombudsman juga menduga, program pencetakan sawah tidak dilakukan dengan kajian yang baik. Akibatnya, banyak sawah baru yang tidak dapat memproduksi padi.

Dalam kajiannya tahun lalu, Ombudsman juga menemukan banyak persoalan dalam prosedur penyerapan gabah hasil panen akibat serap gabah yang dipaksakan kepada Bulog, maka standar kualitasnya kurang terjamin.

Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan, mengatakan, di daerahnya banyak pencetakan sawah yang mubazir. Sebagian lahan tidak bisa ditanami karena tak memiliki irigasi, sebagian lain juga tidak bisa ditanami karena terendam air.

"Kuantitas cetak sawah oleh TNI memang terjadi, tapi kualitasnya tidak terpenuhi," katanya.

Ada pula pihak yang mengaku menerima keluhan mengenai petani yang dipaksa tentara untuk menjual gabahnya ke Bulog dengan harga rendah.

Swa sembada

Saya pribadi adalah warga Indonesia yang sama sekali bukan ahli pertanian, ahli politik, mau pun ahli militer. Namun kebetulan saya adalah warga Indonesia yang sadar bahwa satu di antara sekian banyak masalah yang sedang merundung bangsa, negara, dan rakyat Indonesia adalah ketergantungan pada impor, terutama impor pangan.

Mulai dari beras sampai bawang putih seolah hukumnya wajib harus diimpor. Ketergantungan Indonesia pada impor pangan mengingat kesuburan tanah, air, dan udara Indonesia begitu melimpah ruah. Bahkan, merupakan satu di antara negara tersubur di planet bumi ini, sangat tragis, ibarat ayam mati kelaparan di lumbung padi.

Maka, selama setiap warga Indonesia masih berhak memiliki pendapat, mohon dimaafkan bahwa sebagai seorang warga Indonesia yang cinta Indonesia, saya memiliki pendapat yang mendukung semangat swasembada pangan yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk pengerahan TNI untuk membantu Kementerian Pertanian mencetak sawah bagi petani.

Kemanunggalan

Sebagai warga Indonesia, saya tidak keberatan TNI dilibatkan pada kegiatan pertanian selama tidak ke luar dari koridor konstitusional. Kebetulan saya pribadi mewarisi kisah dari mahaguru kebangsaan saya, mantan Menko Kesra RI Soepardjo Roestam (yang pernah menjadi ajudan Panglima Besar Jenderal TNI Soedirman) bahwa Pak Dirman dalam bergerilya senantiasa wanti-wanti berpesan kepada para serdadu TNI jangan sampai pernah mengorbankan rakyat sesuai falsafah bahwa rakyat adalah Ibu Kandung TNI yang melandasi semangat kemanunggalan TNI dengan rakyat.

Dari diskusi dengan para tokoh cendekiawan Indonesianis dari berbagai perguruan tinggi mancanegara, saya juga memperoleh kesan bahwa TNI dianggap sebagai lembaga yang paling mantap dan unggul dalam profesionalisme manajemen di lembaga kepemerintahan Republik Indonesia.

Saya bukan penderita TNI-phobia yang secara membutatuli senantiasa curiga terhadap TNI, namun bukan berarti saya sudah butatuli terhadap kenyataan.

Saya lebih berupaya bersikap wajar dan jujur untuk menyatakan sesuatu sebagai sebagai benar apabila memang benar, namun juga sebagai tidak benar apabila memang tidak benar. Apalagi di masa bulan suci Ramadhan.

Legowo

Kegaduhan tidak perlu terjadi, jika pihak Ombudsman RI berkenan menyampaikan pendapat, kritik serta koreksi langsung ke Kementerian Pertanian dan TNI. Saya yakin Kementerian Pertanian apalagi TNI yang menganut falsafah legowo sadar bahwa tiada gading yang tak retak, tidak ada manusia yang sempurna, maka tidak ada pula lembaga di planet bumi ini yang sempurna.

Maka, Kementerian Pertanian dan TNI akan secara terbuka bahkan berterima kasih menerima masukan pendapat, kritik serta koreksi dari Ombudsman RI demi menyempurnakan perjuangan Kementerian Pertanian dan TNI menunaikan tugas mencetak sawah demi meningkatkan potensi swasembada pangan oleh Indonesia bagi Indonesia.

Ketahanan pangan merupakan bagian utama dari perjuangan memperkokoh benteng ketahanan nasional, maka juga merupakan bagian dari tugas kewajiban TNI.

Sudah benar bahwa TNI senantiasa siap "rawe-rawe rantas malang-malang putung" menunaikan tugas apa pun yang ditugaskan oleh Presiden Republik Indonesia sebagai Panglima Tertinggi TNI selama dalam koridor konstitusi berdarma bakti bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia.

Memang swasembada pangan tidak didukung oleh para pihak yang merasa kepentingan nafkahnya dirugikan. Namun, Insya Allah semua pihak berkenan menyisihkan kepentingan golongan, lembaga, apalagi pribadi demi bersatu padu, bergotong royong, bahu-membahu dalam mendukung perjuangan untuk mempersembahkan mahakarya swasembada pangan bagi rakyat Indonesia. Merdeka!

Pendidikan Kita untuk Apa?

Pendidikan Kita untuk Apa?
Joni Hermana  ;   Rektor ITS
                                                      REPUBLIKA, 22 Juni 2017



                                                           
Wacana pelajaran agama di sekolah menjadi topik hangat akhir-akhir ini. Entah digeser semesternya atau bahkan dihilangkan dari kurikulum sekaligus. Pelajaran agama dianggap tidak terlalu penting untuk dijadikan mata pelajaran di sekolah dasar menengah, bahkan dianggap sebagai media untuk mempengaruhi mahasiswa menjadi radikal di perguruan tinggi. Lengkaplah sudah kemasygulan yang pernah menyeruak sebelumnya, akibat adanya rencana kebijakan para petinggi kita untuk menghapuskan kolom agama dalam KTP dan bahkan memisahkan agama dari kehidupan politik.

Plato pernah suatu kali berujar bahwa pendidikan adalah untuk membuat orang lebih baik. Sewajarnyalah kalau kita berharap bahwa ketika kita menyekolahkan anak-anak kita, mereka kelak akan menjadi orang baik. Baik dalam arti kata seutuhnya, baik otaknya dan baik juga batinnya serta tentu baik perilakunya.

Pendidikan sejatinya tidak sekedar mengasah otak anak-anak kita menjadi cerdas belaka, tetapi juga mampu mengasah jiwa atau ruhnya menjadi lebih berakhlak. Alangkah eloknya kalau kita melihat anak kita ketika mereka lulus sekolah, mereka cerdas dan juga berakhlak mulia. Santun dalam bersikap maupun bertutur kata walaupun tetap dengan pemikirannya yang kritis dan sangat sigap dalam menyikapi suatu persoalan, baik persoalan yang berkaitan dengan bidang keilmuan atau ipteknya, maupun yang berkaitan dengan masalah-masalah kehidupan di sekitarnya.

Rasul pernah mengatakan, bahwa orang yang pintar adalah mereka yang berdimensi akhirat. Artinya, orang yang selalu berperilaku dengan mempertimbangkan konsekuensi pada dirinya bagi kehidupan akhiratnya kelak. Dia percaya bahwa ketidakjujuran atau ketidakadilan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari akhir. Setiap langkahnya akan selalu dilakukan dengan mempertimbangkan masa depannya dikeabadian, sehingga dia akan selalu berusaha menghindar untuk melakukan hal-hal yang tercela, tidak adil, menyakiti orang lain, mencederai, korupsi atau sebut apa saja perilaku yang tidak pas dari sudut pandang akhlak.

Lalu apa yang mampu mengasah dan mendidik akhlak anak-anak didik kita kalau setiap hari mereka hanya dijejali oleh angka dan rumus serta logika-logika duniawi yang sebenarnya sangat relatif sifatnya, karena akan sangat berbeda bagi setiap orang tergantung dari latar belakang, budaya dan interesnya. Penyikapan terhadap suatu peristiwa akan selalu menjadi perdebatan panjang karena setiap orang akan berupaya melakukan pembenaran terhadap kebenaran yang mereka yakini.

Dampaknya bisa diduga, yang kuat yang akan menjadi 'kebenaran' itu sendiri, sementara yang lemah akan menjadi bagian dari mereka yang terdzalimi. Ini karena, semua nilai kebenaran diciptakan oleh manusia sendiri yang sebetulnya sangat lemah.

Masih di bulan Juni ini, ketika bangsa kita dengan lantang menyerukan "saya Pancasila dan saya Indonesia", kira-kira sadarkah kita dengan ucapan itu ya? Jika kita berkata bahwa Pancasila itu adalah ideologi bangsa kita, dan salah satu sila pertamanya adalah Ketuhanan yang Maha Esa, maka mengapa kemudian kita berkata bahwa agama harus dikeluarkan dari kurikulum sekolah atau agama harus dipisahkan dari politik?

Masih ingatkah kita ketika negara Indonesia ini didirikan, para bapak pendahulu kita dengan tawadlu menuliskan kalimat "Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa...dan seterusnya" dalam Pembukaan UUD 1945? Bahkan, salah seorang sejawat saya dengan gusar mengatakan pada saya "Bukankah ketika dirimu dilantik jadi Rektor, kamu mengatakan Demi Allah saya bersumpah...?"

Ini semua, tidak bisa disanggah, berdimensi ketuhanan atau berorientasi keakhiratan sebagai bentuk konsekuensi sila pertama dalam ideologi Pancasila negara kita. Karena itu, sebaliknya jika kita mengingkarinya, berarti secara tidak sadar kita telah mengkhianati Pancasila itu sendiri.

Makna lebih jauhnya adalah berarti semua sendi kehidupan di negara kita tidak boleh lepas dari aspek ketuhanan, dan pendidikan ketuhanan adalah melalui agama. Agama, wajib menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan kita, sebab disitulah ruh atau jiwa anak-anak didik kita diasah agar mereka menjadi insan yang berakhlak. Jadi tidak sekedar cerdas tapi juga pintar. Pendidikan agama adalah kuncinya, sebab dimensi ketuhanan adalah aspek ruhiyah yang hanya dapat dibenarkan jika disampaikan berdasarkan pada masing-masing ajaran agama yang dianutnya.

Kalaupun sekarang banyak kekurangan dalam pelajaran agama, ini bukan berarti pelajarannya yang harus dihilangkan. Tetapi metoda penyampaiannyalah yang harus diubah agar lebih mengena. Memang jika diamati pelajaran agama sekarang lebih mengarah pada mengajari anak tentang pengetahuan agama, dan ini artinya sekedar menghapal ajaran agama, bukan pada bagaimana mendidik akhlak anak-anak agar sesuai dengan ajaran agamanya.

Tapi perlu diingat, transformasi mengubah perilaku memang butuh waktu lama. Saya ingat di Australia guru-guru di sana lebih khawatir anak-anak mereka tidak bisa menerapkan sopan-santun daripada tidak bisa berhitung dalam matematika. Karena memperbaiki anak salah berhitung hanya memerlukan beberapa jam atau hari saja, sedangkan memperbaiki ahlak seseorang diperlukan waktu tahunan untuk mengubahnya!

Para pendidik kita perlu duduk bersama untuk membuat proses pendidikan agama di sekolah benar-benar mampu mengasah ahklak anak didik kita agar mereka menjadi insan yang pintar, yaitu tidak sekedar cerdas tapi juga berakhlak mulia.

Nasionalisme Ekonomi dan Kemerdekaan Bangsa

Nasionalisme Ekonomi dan Kemerdekaan Bangsa
Ahmad Syafii Maarif  ;   Penulis Kolom RESONANSI Republika
                                                      REPUBLIKA, 20 Juni 2017



                                                           
Jauh sebelum Indonesia merdeka hampir 72 tahun yang lalu, para pendiri bangsa sudah berbicara tentang dua kekuatan nasional kembar yang tidak bisa dipisahkan: nasionalisme politik dan nasionalisme ekonomi. Nasionalisme politik bertujuan untuk mengubah status bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka, dan cita-cita mulia itu telah tercapai dengan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tonggak 17 Agustus adalah deklarasi lahirnya sebuah negara baru di gugusan kepulauan Nusantara: negara Indonesia merdeka yang berdaulat penuh.

Sekalipun harus bertempur selama empat tahun antara 1945-1949 dalam kancah revolusi nasional, karena penjajah Belanda masih tidak mau hengkang dari negeri ini, akhirnya dengan korban yang tidak sedikit, kita menang. Belanda baru pada Desember 1949 bersedia mengakui negara baru ini, karena memang tidak punya pilihan lain lagi. Konstelasi politik global telah berubah secara drastis, sistem penjajahan harus diakhiri. Atau dalam ungkapan Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Dengan kemerdekaan bangsa ini, nasionalisme politik tidak berarti telah rampung dengan tugasnya. Sama sekali belum, karena untuk mengisi kemerdekaan bangsa nasionalisme politik harus bergandengan tangan dengan saudara kembarnya berupa nasionalisme ekonomi. Fasal 33 UUD 1945 (sebelum amendemen) dengan tepat memberi dasar konstitusional untuk nasionalisme ekonomi ini. Di bawah Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 33 itu memerintahkan: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ironisnya, sila kelima Pancasila berupa: “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang antara lain dijabarkan dengan rinci dalam Pasal 33 itu tidak berjalan mulus setelah batang usia republik ini hampir mendekati 72 tahun. Ini sebuah kelalaian konstitusional yang harus dikoreksi secara berani dan tegas, jika kita memang ingin melihat bangsa ini benar-benar merdeka 100%, sebuah ungkapan yang selalu diteriakkan Tan Malaka di masa revolusi kemerdekaan. Nasionalisme ekonomi telah lama dibungkam oleh perusahaan-perusahaan asing dengan modal hampir tanpa batas atas penguasaan mereka di ranah perbankan, pertambangan, telekomunikasi, perkebunan, dan jangan lupa di industri asuransi jiwa terutama.

Kita tengok selintas perusahaan asuransi. Tulisan Wan Ulfa Nur Zuhra dalam medsos di bawah judul “Asing Mencengkram Industri Asuransi Jiwa” (26 Juli 2016) membeberkan betapa dahsyatnya gurita asuransi asing itu menguasai industri perasuransian Indonesia. Dikatakan bahwa dari total aset asuransi jiwa senilai Rp. 368,5 triliun, sebesar 74,37% adalah milik asing, seperti P.T. Prudential Life Assurance (barasal dari Inggris), P.T. AIA Financial (Hong Kong), P.T. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (Kanada), P.T. Asuransi Allianz Life Indonesia (Jerman), dan berapa lagi milik bangsa-bangsa Timur Jauh lainnya seperti P.T. Great Eastern Life Indonesia, P.T. Hanhwa Life Insurance Indonesia, dan P.T. Tokio Marine Life Insurance.

Di sisi lain, ada dua perusahaan asuransi milik orang Indonesia: P.T. Asuransi Jiwa Bumiasih dan P.T. Asuransi Jiwa Nusantara telah dinyatakan pailit oleh pengadilan atas permintaan OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Akibatnya, yang menjadi korban adalah para pemegang polis yang telah membayarkan premi sebelumnya menjadi hangus begitu saja. Kasus ini telah semakin memperburuk citra perusahaan asuransi lokal, padahal asuransi milik nasional itu masih ada yang bagus, seperti P.T. Asuransi Wahana Tata dengan 70 kantor dan 1.200 karyawannya di seluruh Indonesia. Kemudian P.T. Asuransi Bumi Putera 1912, industri asuransi tertua di Indonesia, nafasnya sedang Senen-Kamis. Semoga pembenaan total yang sedang berjalan sekarang terhadap asuransi ini akan bisa menyelamatkan perusahaan ini yang dulu adalah ikon di dunia asuransi nasional.

Tidak berbeda dengan nasib asuransi nasional, dunia perbankan, perkebunan, pertambangan, telekomunikasi, dan lain-lain juga telah “tergadai” kepada pihak asing. Data dalam medsos dari tulisan Suardi dengan judul “Aset Ekonomi Indonesia Dikuasai Asing” (15 Feb. 2016) memberikan angka-angka di bawah ini sebagai bukti telanjang betapa imperialisme ekonomi itu telah mencekik leher bangsa ini. Penguasaan asing atas industri perbankan sudah berada pada angka 70%, pertambangan 85%, otomotif 99%, perkebunan 60%, telekomunikasi 70%, jasa 70%, tanah 93% (konglomerat Indonesia plus asing), minyak dan gas 88%.

Angka penguasaan tanah 93% itu adalah sebuah lampu merah tanda bahaya serius, dibagi antara konglomerat Indonesia dan asing berbanding menjadi 80%:13%. Lalu yang tersisa untuk rakyat Indonesia lain yang jumlahnya lebih dari 250 juta hanya tinggal 7%. Saya tidak tahu persis apakah angka-angka ini cukup valid, tetapi andaikan berbeda, selisihnya tidak akan terlalu banyak.

Jika demikian realitas getirnya yang diawali sejak Orde Baru (1966-1998) dan berlanjut sampai sekarang, maka pertanyaan panasnya adalah: di mana Pancasila, di mana Fasal 33 UUD? Pertanyaan ini harus dijawab segera oleh pemerintah JKW-JK dan elite Indonesia secara keseluruhan. Atau kita harus siap-siap untuk menjadi bangsa kuli yang hina-dina di muka bumi, tetapi sering dihibur dengan demo itu?